Hukum Sholat Dhuha Berjamaah

Dari Mujahid, beliau mengatakan: “Saya dan Urwan bin Zubair masuk masjid, sementara Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu duduk menghadap ke arah kamarnya Aisyah. Kemudian kami duduk mendekat beliau. Tiba-tiba ada banyak orang melaksanakan shalat dhuha (dimasjid). Kami bertanya: “Wahai Abu Abdirrahman, shalat apa ini?” Beliau (ibn Umar) menjawab: “Bid’ah..!” (HR. Ahmad 6126, kata Syaikh Al Arnauth: Sanadnya shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim).

Al Qodhi Iyadh, An Nawawi dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Ibn Umar mengingkari mereka karena perbuatan mereka yang terus-menerus mengerjakannya, kemudian mereka lakukan shalat itu dimasjid, dan dengan berjamaah. Bukan karena hukum asal shalat tersebut menyelisihi sunah (perbuatan bid’ah). Hal ini dikuatkan dengan riwayat Ibn Abi Syaibah (7777) dari Ibn Mas’ud, bahwasanya beliau (Ibn Mas’ud) melihat beberapa orang shalat dhuha, kemudian beliau mengingkarinya, sambil mengatakan:

إِنْ كَانَ وَلَا بُدَّ فَفِي بُيُوتِكُمْ

“Jika memang harus melaksanakan shalat dhuha, mengapa tidak di rumah kalian.” ( Fathul Bari, 3:53).

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin ditanya tentang tafsir perkataan Ibn Umar yang membid’ahkan shalat dhuha sebagaimana riwayat di atas. Beliau menjawab: “Hal ini (perkataan Ibn Umar) –wallahu a’lam– karena mereka mengerjakan shalat dhuhanya secara berjamaah, kemudian beliau (Ibn Umar) menilai hal itu sebagai perbuatan bid’ah.” (Syarh Shahih Bukhari Kitab Al Hajj).

Selanjutnya, ada beberapa riwayat yang menunjukkan  bahwa Nabi ﷺ dan sebagian sahabat melaksanakan shalat dhuha berjamaah, diantaranya:

Pertama, hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ’anhu, beliau bercerita: “Ada seorang laki-laki dari anshar berkata (kepada Nabi ﷺ): “Saya tidak bisa shalat bersama Anda.” Dalam lanjutan hadits dinyatakan:

فَصَنَعَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا، فَدَعَاهُ إِلَى مَنْزِلِهِ، فَبَسَطَ لَهُ حَصِيرًا، وَنَضَحَ طَرَفَ الحَصِيرِ فَصَلَّى عَلَيْهِ رَكْعَتَيْنِ

Kemudian beliau membuat makanan untuk Nabi ﷺ dan mengundang Nabi ﷺ agar datang kerumahnya. Dihamparkan tikar dan beliau memerciki bagian ujung-ujungnya dengan air, kemudian shalat dua rakaat di atas tikar tersebut.” Ada seseorang dari keluarga Al Jarud bertanya kepada Anas: “Apakah Nabi ﷺ melaksanakan shalat dhuha?” jawab Anas: “Saya belum pernah melihat Nabi ﷺ melaksanakan dhuha kecuali hari itu.” (HR. Bukhari No.670).

Hadits ini dibawakan oleh Bukhari dalam bab: “Apakah Imam shalat bersama orang yang tidak bisa berjamaah.” Karena zahir hadits menunjukkan bahwa beliau mengerjakannya berjamaah dengan orang Anshar tersebut.

Al Hafidz Al-Aini menyebutkan beberapa pelajaran penting dari hadits ini. Diantara yang beliau sebutkan adalah bolehnya mengerjakan shalat sunah secara berjamaah. (Umdatul Qori, 5:196).

Kedua, riwayat dari Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Uthbah, beliau megatakan:

دخلت على عمر بن الخطاب بالهاجرة، فوجدته يسبح، فقمت وراءه، فقربني حتى جعلني حذاءه عن يمينه، فلما جاء (يرفأ) تأخرت فصففنا وراءه

“Aku masuk menemui Umar di waktu matahari sedang terik, ternyata aku melihat beliau sedang shalat sunah, lalu aku berdiri di belakangnya dan beliau menarikku sampai aku sejajar dengan pundaknya di sebelah kanan. Ketika datang Yarfa’ (pelayan Umar) aku mundur dan membuat shaf di belakang Umar radhiallahu ’anhu.” (HR. Malik dalam Al Muwatha’ 523 dan dishahihkan Syaikh Al Albani di As Shahihah catatan hadits 2590).

Hadits ini dimasukkan Imam Malik dalam Bab Shalat Dhuha. Karena yang dimaksud waktu matahari sedang terik dalam hadits diatas, dipahami sebagai waktu dhuha. Berdasarkan hadits ini, Ibn Habib menyatakan bolehnya orang melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah dengan tiga syarat:  dilakukan sewaktu-waktu pada hari tertentu (tidak ditentukan harinya), tidak ada kesepakatan sebelumnya, dan tidak menjadi amalan yang dilakukan oleh banyak orang (terkenal di semua kalangan). (Al-Muntaqa Syarh Al Muwatha’ 1:274).

Keterangan Ibn Habib diatas bisa dikatakan penjelasan cukup bagus dalam menyikapi hukum shalat dhuha secara berjamaah. Selama itu hanya dilakukan kadang-kadang dan tidak dijadikan kebiasaan maka shalat dhuha berjamaah dibolehkan. Dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam dan Syaikh Ibn Al Utsaimin. (Al Fatwa Al Kubro Ibn Taimiyah 2/238 & Majmu’ Fatawa Ibn Al Utsaimin 4)

Dengan demikian, shalat dhuha berjamaah dibolehkan dengan beberapa persyaratan berikut:

Dilakukan kadang-kadang (tidak dijadikan kebiasaan)
Tidak terikat hari, waktu, atau moment tertentu. Misalnya: dilaksanakan setiap  selapan sekali (misalnya: setiap jum’at pon). Ketentuan hari semacam ini tidak dibolehkan.
Tidak ada kesepakatan sebelumnya, atau tidak ada pengumuman kepada masyarakat.
Tidak menjadi amalan yang menjamur dan banyak dilakukan masyarakat.
Jumlah orang yang ikut berjamaah sedikit. Sehingga tidak boleh melaksanakan shalat dhuha  berjamaah satu kampung, sebagaimana shalat fardhu.
Tidak dilaksanakan bersama-sama di masjid.
Wallahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

➖➖➖➖➖➖➖

Materi Kajian Online
Telegram: @MajlisDzikir
You Tube: Channel Majlis Dzikir TV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar