Adakah Bidah Hasanah?


Syaikh Ibnu Utsaimin


Pertanyaan:
Apa pengertian bid'ah dan apa kriterianya? Adakah bid'ah hasanah? Lalu apa makna sabda Nabiصلی الله عليه وسلم,

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
"Barangsiapa yang menempuh kebiasaan yang baik di dalam Islam..." [1]

Jawaban:
Pengertian bid'ah secara syar'i intinya adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari'atkan Allah. Bisa juga anda mengatakan bahwa bid'ah adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم dan tidak pula oleh para Khulafaur Rasyidin. Definisi pertama disimpulkan dari firman Allah سبحانه و تعالى,

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah."(Asy-Syura: 21).

Sedangkan definisi kedua disimpulkan dari sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَاْلأُمُوْرَ الْمُحْدَثَاتِ
"Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah itu dengan geraham, dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara baru yang diada-adakan."[2]

Jadi, setiap yang beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari'atkan Allah atau dengan sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم dan Khulafa'ur Rasyidin, berarti ia pela-ku bid'ah, baik ibadah itu berkaitan dengan Asma' Allah dan sifat-sifatNya ataupun yang berhubungan dengan hukum-hukum dan syari'at-syari'atNya. Adapun perkara-perkara biasa yang mengi-kuti kebiasaan dan tradisi, maka tidak disebut bid'ah dalam segi agama walaupun disebut bid'ah secara bahasa. Jadi yang demiki-an ini bukan bid'ah dalam agama dan tidak termasuk hal yang diperingatkan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Di dalam agama tidak ada yang disebut bid'ah hasanah.

Adapun sunnah hasanah adalah perbuatan yang sesuai dengan syari'at, dan hal ini mencakup; seseorang yang memulai melakukan sunnah atau memulai melakukan suatu amal yang diperintahkan atau kembali melakukannya setelah meninggalkannya atau melakukan sesuatu yang memang disunnahkan sebagai perantara pelaksanaan ibadah yang diperintah-kan. Yang demikian ini ada tiga kategori:

Pertama
: Artinya adalah sunnah secara mutlak, yakni yang memulai suatu amal yang diperintahkan. Inilah sebab munculnya hadits tersebut, di mana Nabi صلی الله عليه وسلم menganjurkan untuk bersedekah kepada orang-orang yang datang kepada beliau, karena mereka saat itu sedang dalam kondisi sangat kesulitan, lalu beliau menganjurkan untuk bersedekah. Kemudian datang seorang laki-laki Anshar dengan membawa sekantong perak yang cukup berat di  tangannya, lalu ia meletakkannya di kediaman Nabi صلی الله عليه وسلم, kemudian Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda,

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
"Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya."[3] Laki-laki tersebut adalah yang melakukan sunnah karena memulai melakukan amal tersebut, bukan berarti memulai membuat amalan baru.
Kedua: Sunnah yang ditinggalkan kemudian seseorang melakukannya dan menghidupkannya. Yang demikian ini disebut melakukan sunnah yang artinya menghidupkannya, tapi bukan berarti membuat amalan baru yang berasal dari dirinya sendiri.
Ketiga: Melakukan sesuatu sebagai perantara pelaksanaan perintah yang disyari'atkan, seperti membangun sekolah, mence-tak buku agama dan sebagainya. Yang demikian ini bukan berarti beribadah dengan amalan tersebut, akan tetapi amalan tersebut sebagai perantara untuk melaksanakan perintah yang terkait.
Semua itu termasuk dalam cakupan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
"Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya."[4] Tentang masalah ini telah dibahas secara luas di kesempatan lain.
 
Sumber:
Al-Majmu' Ats-Tsamin, juz 1, hal. 29-30, syaikh Ibnu Utsaimin.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, penerbit Darul Haq.

[1] HR. Muslim dalam Az-Zakah (1017), dan dalam Al-'Ilm (1017).
[2] HR. Abu Dawud dalam As-Sunnah (4607). Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah (42).
[3] HR. Muslim dalam Az-Zakah (1017).
[4] HR. Muslim dalam Az-Zakah dan Al-'Ilm (1017).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar