Dibalik Kelembutan Suaramu


Oleh:
Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Al-Ustadzah Ummu ‘Affan bintu Abi Salim


Banyak wanita dizaman ini yang merelakan dirinya menjadi komoditi. Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi barang dagangan, suaranya pun bisa mendatangkan banyak rupiah.

Ukhti muslimah…
Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televise. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah dan merdu.
Begitu mudahnya wanita tersebut memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada Allah. Padahal dia telah memperingatkan :

“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit di dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf. (Al-Ahzab: 32)
Rasulullah juga bersabda:

“Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka setan menghias-hiasinya (membuat indah pandangan laki-laki sehingga terfitnah).” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-shahihul Musnad, 2/36).

Suara merupakan bagian dari wanita sehingga suara termasuk aurat. Demikian fatwa yang disamapaikan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan dan Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-jibrin sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah (I/431, 434).

Para wanita diwajibkan menjauhi setiap perkara yang dapat mengantarkan kepada fitnah. Apabila ia menperdengarkan suaranya, kemudian dengan itu terfitnahlah kaum lelaki, maka seharusnya ia menghentikan ucapannya. Oleh karena itu para wanita diperintahkan untuk tidak mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah. Ketika mengingatkan imam yang keliru dalam shalatnya, wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya dengan bertasbih sebagaimana laki-laki, tapi cukup menepukkan tangannya, sebagaimana tuntunan Nabi:
“Ucapan tasbih itu untuk laki-laki sedang tepuk tangan untuk wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 1203dan Muslim no. 422)

Demikian juga dalam masalah adzan, tidak disyariatkan bagi wanita untuk mengumandangkannya lewat menara-menara masjid karena itu melazimkan suara yang keras.

Ketika terpaksa harus berbicara dengan laki-laki dikarenakan ada kebutuhan, wanita dilarang melembutkan dan memerdukan suaranya sebagaimana larangan Allah dalam surat Al-Ahzab diatas. Dia hanya diperbolehkan seperlunya, tanpa berpanjang kata melebihi keperluan semula.
Al-Imam ibnu Katsir berkata berkata dalam tafsirnya : “Makna dari ayat ini (Al-Ahzab: 32), ia berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya tanpa melembutkan suaranya, yakni tidak seperti suaranya ketika berbicara dengan suaminya.” (Tafsir ibnu Katsir, 3/491)

Maksud penyakit dalam ayat ini adalah syahwat (nafsu/keinginan) berzina yang kadang-kadang bertambah kuat dalam hati ketika mendengar suara lembut seorang wanita atau ketika mendengar ucapan sepasang suami istri, atau semisalnya.

Suara Wanita di Radio dan Telepon
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya: “bolehkah wanita berprofesi sebagai penyiar radio, dimana ia memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya? Apakah seorang laki-laki boleh berbicara dengan wanita melalui pesawat telepon secara langsung?”

Asy-Syaikh menjawab: “Apabila seorang wanita bekerja di stasiun radio maka dapat dipastikan ia akan ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum lelaki. Bahkan seringkali ia berdua saja dengan seorang laki-laki di ruang siaran. Yang seperti ini tidak diragukan lagi kemungkaran dan keharamannya. Telah jelas sabda nabi:

“jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan wanita.”
Ikhtilat seperti ini selamanya tidak dihalalkan. Terlebih lagi seorang wanita yang bekerja sebagai penyiar radio tentunya berusaha untuk menghiasi suaranya agar dapat memikat dan menarik. Yang demikian inipun merupakan bencana yang wajib dihindari karena menimbulkan fitnah.

Adapun mendengar suara wanita melalui telepon maka hal tersebut tidaklah mengapa dan tidak dilarang untuk berbicara dengan wanita melalui telepon. Yang tidak diperbolehkan adalah menikmati suara tersebut atau terus menerus berbincang-bincang dengan wanita karena menikmati suaranya. Seperti inilah yang diharamkan. Namun bila hanya sekedar member kabar atau fatwa mengenai permasalahan tertentu, atau tujuan lain yang semisalnya, maka hal ini diperbolehkan. Akan tetapi bila timbul sikap-sikap lunak dan lemah lembut, maka bergeser menjadi haram. Walaupun tidak terjadi yang demikian ini, namun tanpa sepengetahuan si wanita, laki-laki yang mengajaknya bicara ternyata menikmati dan berlezat-lezat dengan suaranya. Maka haram bagi laki-laki tersebut dan wanita itu tidak boleh melanjutkan pembicaraannya seketika ia menyadarinya.

Sedangkan mengajak bicara wanita secara langsung maka tidak menjadi masalah, dengan syarat wanita tersebut berhijab dan aman dari fitnah. Misalnya wanita yang diajak bicara itu adalah orang yang telah dikenalnya, seperti istri saudara laki-lakinya, (kakak/adik ipar), atau anak perempuan pamannya dan yang semisal mereka.” (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, I/433-434)

Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin menambahkan dalam fatwanya tentang permasalahan ini : “Wajib bagi wanita berbicara seperlunya melalui telepon, baik dia yang memulai menelepon atau hanya menjawab orang yang menghubunginya lewat telepon, karena ia dalam keadaan terpaksa dan ada faedah yang didapatkan bagi kedua belah pihak dimana keperluan bisa disampaikan padahal tempat saling berjauhan, dan terjaga dari pembicaraan yang mendalam diluar kebutuhan, serta terjaga dari perkara yang menyebabkan bergeloranya syahwat salah satu dari kedua belah pihak. Namun yang lebih utama adalah meninggalkan hal tersebut kecuali pada keadaan yang sangat mendesak.”. (Fatawa Al-Mar’ah, I/435)

Laki-Laki Berbicara Lewat Telepon Dengan Wanita Yang Telah Dipinangkan

Kenyataan yang ada disekitar kita, bila seorang laki-laki telah meminang seorang wanita, keduanya menilai hubungan mereka telah teranggap resmi sehingga apa yang sebelumnya tidak diperkenankan sekarang diperbolehkan. Contoh yang paling mudah adalah pembicaraan antara keduanya secara langsung ataupun lewat telepon. Si wanita memperdengarkan suaranya dengan mendayu-dayu karena menganggap sedang berbincang dengan calon suaminya, orang yang bakal menjadi kekasih hatinya.

Pihak laki-laki juga demikian, menyapa dengan penuh kelembutan untuk menunjukan dia adalah seorang laki-laki yang penuh kasih saying. Tapi bagaimana timbangan syariat dalam permasalahan ini? Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menjawab: “ Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya (di-khitbah-nya), apabila memang pinangnya telah diterima. Dan pembicaraan itu dilakukan untuk memberikan pengertian, sebatas kebutuhan dan tidak ada fitnah didalamnya. Namun bila keperluan disampaikan lewat si wanita maka itu lebih baik, dan lebih jauh dari fitnah. Adapun pembicaraan antara antara laki-laki dan wanita, antara pemuda dan pemudi, sekedar perkenalan (ta’aruf) diantara mereka sementara belum ada khitbah diantara mereka, maka ini perbuatan mungkar dan haram, mengajak kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah berfirman:
“maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit di dalam hatinya dan ucapkan lah perkataan yang ma’ruf. (Al-Ahzab: 32) [Fatawa Al-Mar’ah, 2/605]

(Disusun dan dikumpulkan dari fatwa Ays-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin oleh ummu ishaq Al-Atsariyyah dan Ummu ‘Affan bintu Abi Salim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar