Ucapan Ulama Tentang Hadits Innamal a’malu binniyaat


Hadits Innamal a’malu binniyaat memiliki kedudukan yang agung sehingga Imam Bukhari menempatkannya pada awal kitab Shahih-nya. Demikian pula Taqiyudin Al-Maqdisi Rahimahullah dalam kitabnya ‘Umdatul Ahkam, Al-Imam As-Suyuthi Rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shagir, dan Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab.

Diriwayatkan dari Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah bahwasanya beliau berkata: “Hadits ini merupakan sepertiga ilmu dan masuk dalam 70 bab fiqih.” (Syarah Shahih Muslim, 13/53)


Yang dimaksud dengan sepertiga ilmu, dijelaskan oleh Al-Imam Ahmad Rahimahullah dalam ucapan beliau: “pokok-pokok islam itu ada tiga hadits:

Hadits Umar Radhiyallahu 'anhu :
“Amalan-amalan itu hanyalah tergantung niatnya.”

Hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha:
“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak.”

Dan hadits An-Nu’man bin Basyir:
“Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.” (Fathul Bari, 1/11)

Abu dawud Rahimahullah berkata yang maknanya: “Aku melihat pada hadits musnad, ternyata aku dapatkan ada 4000 hadits. Kemudian aku melihat lagi, dan ternyata 4000 hadits tadi berporos di atas empat hadits, diantaranya hadits Umar Radhiyallahu 'anhu ini. (At-Tamhid karya ibnu Abdil Bar, 9/201)

Al-Imam Asy-Syaukani Rahimahullah menyatakan hadits ini memiliki banyak faedah dan selayaknya ditulis (dibahas) dalam satu kitab tersendiri. (Nailul Authar, 1/159)



HUKUM MELAFADZKAN NIAT

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i Rahimahullah ditanya:
“Apakah melafadzkan niat termasuk perkara yang diada-adakan dalam agama (Bid’ah), sementara dalam kitab Al-Umm disebutkan keterangan dalam hal ini secara samar (yakni niat harus dilafadzkan)? Jelaskan pada kami tentang permasalahan ini.”

Jawab:
Melafadzkan niat teranggap sebagai perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Semntara Allah telah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
“Katakanlah: Apakah kalian akan memberitahukan kepada Allah tentang agama kalian?” (Qs. Al-Hujurat: 16)

Nabi berkata kepada orang yang shalatnya salah:
“Apabila engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah.”

Disini beliau tidak mengatakan kepada orang tersebut: “Katakanlah nawaitu (Aku berniat)” (sebelum mengucapkan takbir).

Ketahuilah bahwa ibadah shalat, wudhu, dan ibadah-ibadah lainnya memang tidak sah kecuali dengan niat. Oleh karena itu dalam pelaksanaan ibadah seluruhnya haruslah ada niat, berdasarkan sabda Rasulullah: “Sesungguhnya Amalan itu tergantung niatnya.”

Namun perlu diketahui bahwa tempat niat adalah di hati. Keliru apabila dikatakan bahwa di dalam kitab Al-Umm disebutkan tentang melafadzkan niat. Ini salah. Bahkan tidak dijumpai di dalam kitab Al-Umm tersebut. (Ijabatus Sa’il, hal. 27)

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah berkata:
“Bila Nabi berdiri untuk shalat, beliau langsung mengucapkan takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apapun sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengatakan:

“Aku tunaikan untuk Allah Shalat demikian, dengan menghadap kiblat, empat rakaat, sebagai imam atau makmum.”

Demikian pula ucapan adaa-an atau qadhoo-an ataupun fardhol waqti.

Melafadzkan niat termasuk perbuatan mengada-adakan dalam agama (bid’ah). Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi baik dengan sanad yang shahih, dha’if, musnad (bersambung sanadnya), atau mursal (terputus sanadnya) sekalipun. Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat. Begitu pula tidak ada dari salah seorang pun dari kalangan tabi’in maupun imam yang empat yang menganggap baik hal ini.

Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang sekarang) keliru dalam memahami ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah tentang shalat. Beliau mengatakan : “Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan dzikir.”

Mereka menyangka bahwa yang dimaksud dengan dzikir disini adalah ucapan niat orang yang shalat. Padahal yang dimaksud Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah dengan dzikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram. Bagaimana mungkin Al-Imam Ast-Syafi’i Rahimahullah menyukai perkara yang tidak dilakukan oleh Nabi dalam satu shalat pun. Tidak pula oleh para khalifah beliau maupu para sahabat yang lain. Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka.

Bila ada yang bisa menunjukan kepada kita satu huruf dari mereka tentang permasalahan ini, maka kita akan menerima dan menyambutnya dengan ketundukan dan penerimaan. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka. Dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari pembawa syariat. (Zaadul Ma’had, 1/201)


Sumber:
Dikutip dari Majalah Asy-Syari'ah Edisi I