Hukum-Hukum Istihadhah

Oleh:
Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-tsariyah


Sebagian wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji (kemaluan) diluar kebiasaan bulanannya (haidh) dan bukan karena melahirkan. Darah ini diistilahkan dengan darah istihadhah. Al-Imam An-Nawawi mengatakan, Istihadhah adalah darah yang mngalir dari farji diluar waktunya dan berasal dari urat yang dinamakan ‘dzil (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 4/17)


Wanita yang ditimpa istihadhah hukumya sama dengan wanita yang suci, tidak ada bedanya kecuali dalam hal berikut:

Pertama:
Bila ingin berwudhu wanita yang mengalami istihadhah mencuci kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.

Kedua:
Dalam hal berjima’ dengan istri yang sedang istihadhah, diperselisihkan boleh tidaknya oleh para ulama. (Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa’, hal. 50)

Jumhur ulama berpandangan, boleh berjima’ dengan istri yang sedang istihadhah. Sementara ada yang berpendapat tidak boleh kecuali bila masa istihadhahnya panjang dan ada yang tidak membolehkan sama sekali karena menyamakan istihadhah dengan haidh.

Namun pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat jumhur ulama. Karena tidak didapati riwayat dari Rasulullah yang berisi larangan itu, sementara banyak wanita yang mengalami istihadhah pada masa beliau. Seandainya itu syariat Allah, niscaya Nabi-Nya akan menerangkannnya kepada para suami yang istri-istrinya ditimpa istihadhah dan akan dinukilkan hal itu kepada kita sebagai penjagaan terhadap syariat ini.

Selain itu ada ayat Allah yang umum:
“Istri-istri kalian adalah ladang bagi kalian maka datangilah ladang itu sekehendak kalian.’ (Al-Baqarah: 223)

Al-Imam Bukhari membawakan ucapan Abdullah Ibnu Abbas dalam kitab Shahih-nya yang maknanya bahwa wanita istihadhah boleh digauli oleh suaminya sebagaimana dibolehkan baginya untuk shalat, sementara shalat itu perkara yang lebih agung. (Shahih Al-Bukhari, kitabul haidh, bab Apabila wanita istihadhah melihat dirinya telah suci dari haidh)

Al-Haifzh Ibnu Hajar Al-Asqalani ketika menjelaskan ucapan ibnu Abbas ini, berkata: “Yakni bila si wanita yang istihadhah dibolehkan shalat, maka lebih utama lagi dibolehkan berjima’ dengannya karena perkara shalat lebih agung dari perkara jima’.” (Fathul Bari, I/535)

Bila ada yang memasukkan darah istihadhah dalam firman Allah:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah darah haidh itu adalah kotoran.” (Al-Baqarah: 222)

Maka kita katakan bahwa kata ganti (dhamir) huwa dalam ayat diatas menunjukan pengkhususan, yakni darah haidh itu kotoran bukan yang lainnya. Dan disini tidak diterima qiyas (analogi) karena adanya perbedaan anatara darah haidh dengan darah istihadhah pada kebanyakan hukumnya. Demikian diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (I/440).

Karena wanita yang istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci, maka tidak ada kewajiban mandi baginya setiap akan menunaikan shalat. Demikian pendapat jumhur ulama yang disebutkan Al-Imam An-Nawawi dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim (4/19) dan Al-Hafizh Ibnu hajar dalam Fathul Bari (I/533). Adapun perbuatan Ummu Habibah yang mandi setiap akan shalat sebagaimana riwayatnya dibawakan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 334), hal itu merupakan ijtihad Ummu habibah semata, bukan perintah yang datangnya dari Nabi.

Demikian pula berwudhu ketika akan shalat, tidak ada perintahnya dari Nabi. Adapun hadits:
“Engkau tidak boleh meninggalkan shalat. (Apa yang kau alami) itu, hanyalah darah dari urat bukan haidh. Apabila datang haidhmu maka tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari haidhmu, cucilah darah darimu (mandilah) dan shalatlah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 228, 306, 320, 325, 331, dan Muslim no. 333) dengan tambahan perintah berwudhu setelah perintah mencuci darah (sebagaimana disebutkan dalam riwayat An-Nasa’i dari jalan Hammad bin Zaid) maka tambahan ini dilemahkan oleh ahli ilmu. (lihat Syarah Muslim, 4/22)

Yang wajib dilakukan wanita istihadhah hanyalah mandi setelah selesai masa haidhnya, meski darah terus mengalir. Hal ini merupakan perkara yang disepakati, kata Imam An-Nawawi (Syarah Muslim, I/25)

Beliau menyatakan, dalam hal ibadah shalat, puasa, i’tikaf, membaca Al-Quran, menyentuh mushaf dan membawanya, sujud tilawah dan sujud syukur, maka wanita istihadhah sama dengan wanita suci dalam kebolehannya dan hal ini merupakan perkara yang disepakati pula. (Syarah Muslim, 4/17)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Sumber:
Di kutip dari Majalah Sakinah Edisi 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar